GLOBALISASI DAN ORGANISASI YANG MULTIKULTURAL
Globalisasi
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang.
Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik. Globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Dari semua kontak yang terjadi ada komunikasi yang harus dikonstruksikan sebaik mungkin, tanpa kesalahpahaman.
Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia:
– Perubahan dalam konsep ruang dan waktu.
Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
– Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
– Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional).
Saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
– Meningkatnya masalah bersama,
Misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.
Organisasi yang Mutikultural
Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga maupun organisasi di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. Para globalis optimistis dalam menanggapi perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
Dalam menghadapi arus globalisasi diperlukan sikap terbuka terhadap informasi dengan secara aktif dan selektif tetap menyaring hal-hal yang mempunyai dampak positif. Dengan berpegang teguh pada komitmen tersebut, diharapkan organisasi dapat berperan aktif dan tetap memiliki sikap dan semangat yang tinggi. Kita tentu tidak menghendaki, bahwa era globalisasi yang terus menggelinding ini dapat mengakibatkan kejatuhan dan konflik dalam organisasi. Namun sebaliknya kita menghendaki agar dalam globalisasi ini, dapat mensejahterakan dan meningkatkan kemajuan organisasi.
Dalam era globalisasi sekarang ini, tentu terjadi perubahan dalam tubuh organisasi yang sangat terasa akibatnya, misalnya di tempat kerja. Ada perubahan komposisi demografik dari para pekerja. Data di Amerika Serikat saat ini menunjukkan bahwa pekerja kulit putih semakin menurun jumlahnya, dan 35% pekerja yang ada di Amerika saat ini berasal dari benua Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang berbeda budayanya. Secara kasat mata, kondisi yang sama terjadi juga di Indonesia, walau yang pekerja Indonesia masih dominan, namun banyak kita lihat pekerja asing atau klien perusahaan dari negara Jepang, Korea, India, Cina, dan kulit putih dari Australia, Eropa maupun Amerika yang bekerja di Indonesia, baik di kota-kota besar atau di proyek-proyek di pelosok Indonesia. Mereka ada yang bisa berbahasa Indonesia walau terbata-bata, namun kebanyakan perlu belajar untuk dapat menyesuaikan diri dengan budaya kerja, dan adat istiadat setempat. Apa yang ‘biasa’ bagi kita dan kita anggap sebagai sesuatu yang ‘normal’ atau ‘wajar’, belum tentu juga berlaku demikian bagi mereka. Ini sungguh sesuatu yang tidak mudah. Era globalisasi memang menyebabkan organisasi tidak hanya beroperasi di satu tempat, namun bisa beroperasi dimana saja di seluruh dunia. Bahan baku maupun produk yang dihasilkan pun berasal dari mana saja dan didistribusikan kemana saja di seluruh penjuru dunia. Konsekuensinya kita bisa bekerja dan berhubungan dengan siapa saja. Pekerjaan tidak hanya berada di negara kita sendiri, namun juga di luar negeri.
Tempat kerja adalah sebuah organisasi dimana terjadi pertemuan budaya. Relasi kerja ditandai dengan bertemunya individu yang berbeda bangsa (budaya) dalam kelompok kerja untuk mencapai target bersama. Tantangan ini tidak mudah. Bekerjasama dengan orang yang berbeda budaya bukan hal yang gampang, bahkan juga bagi orang Indonesia yang sebetulnya memiliki akar multikultural. Kondisi ini menuntut kemampuan 3C atau Cross-cultural competence atau Intercultural competence, yaitu segenap kemampuan yang menyebabkan individu dapat beradaptasi secara efektif dalam lingkungan interkultural.
Hal ini karena banyak bentuk budaya yang sifatnya ‘tersembunyi’. Seseorang yang interculturally competent dapat menangkap dan memahami budaya lain, dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan budaya lain karena ia bisa memahami konsep spesifik bagaimana individu dalam budaya lain itu berfikir, merasakan, dan memilih tindakan yang diambilnya. Dalam dunia yang semakin mengglobal ini, kita perlu meningkatkan kecerdasan kultural atau cultural intelligence yang kita miliki dan menjadi individu yang interculturally competent.
INTERCULTURAL COMMUNICATION AND DIVERSITY IN ORGANIZATIONS
Intercultural Communication
Istilah “intercultural communication” sering digunakan untuk menjelaskan isu-isu komunikasi dalam arti yang luas yang akan selalu meningkat dalam organisasi yang tersusun atas individu dari bermacam-macam kepercayaan, sosial, etnik dan latar belakang pendidikan. Masing-masing dari individu tersebut membawa pengalaman dan nilai-nilai yang unik ke lingkungan tempat dia bekerja. Bisnis-bisnis yang mampu memfasilitasi komunikasi yang efektif, baik tertulis maupun lisan, antara anggota dari berbagai macam kelompok kebudayaan akan jauh lebih baik untuk berhasil dibanding dengan organisasi lain yang membiarkan konflik-konflik meningkat dari perbedaan budaya kalangan internal menjadi lebih tajam. Kegagalan dalam menempatkan dan menyelesaikan konflik berbasis budaya dan tekanan, akan memunculkan dampak berupa penampilan yang menurun dan produktivitas berkurang baik diinginkan maupun tidak.
Pentingnya intercultural communication yang efektif bisa jadi susah didefinisikan. Seperti yang digarisbawahi oleh Trudy Milburn dalam Management Review, komunikasi tidak hanya sebagai ekspresi latar belakang budaya, tetapi juga sebagai ‘pembentuk’ identitas budaya. Dia menuliskan,
“Cultural identities, like meaning, are socially negotiated.”
“Ethnic identities, class identities, and professional identities are formed and enacted through the process of communication. What it means to be white, Jewish, or gay is based on a communication process that constructs those identities. It is more than just how one labels oneself, but how one acts in the presence of like and different others, that constructs a sense of identity and membership.”
Language—The Cornerstone Of Intercultural Communication
Perbedaan budaya merefleksikan dirinya dalam cara yang beragam. Misalnya saja, satu dari norma budaya mungkin memiliki sebuah konsepsi berbeda terhadap waktu daripada hal lain secara signifikan, atau sebuah ide yang berbeda dari apa yang mengkonstitusikan body language, dan jarak personal ketika melakukan percakapan.
Tetapi kebanyakan peneliti, karyawan, dan pemilik bisnis sependapat bahwa elemen yang paling penting dalam intercultural communication yang efektif menitikberatkan pada bahasa (language). Kata John P. Fernandez, dalam Managing a Diverse Work Force: Regaining the Competitive Edge, “A great deal of ethnocentrism is centered around language.”
“Language issues are becoming a considerable source of conflict and inefficiency in the increasingly diverse work force throughout the world…. No corporation can be competitive if co-workers avoid, don’t listen to, perceive as incompetent, or are intolerant of employees who have problems with the language. In addition, these attitudes could be carried over into their interactions with customers who speak English as a second language, resulting in disastrous effects on customer relations and, thus, the corporate bottom line.”
Pemilik bisnis kecil patut pencoba dan menghindari membuat asumsi tentang kemampuan orang lain, walaupun itu seorang vendor; karyawan; atau rekan kerja, berdasarkan asumsi-asumsi etnosentris dari superioritas kebudayaan mereka dalam komunikasi yang sesungguhnya. Herta A. Murphy dan Herbert W. hildebrandt, dalam Effective Business Communications, menyatakan bahwa “Withhold evaluative statements on foreign communication styles until you recognize that different cultures use different communication methods.”
Sering diabaikan dalam diskusi tentang komunikasi antar budaya, terkadang hal signifikan yang terjadi adalah perbedaan budaya mengenai praktek mendengarkan. Tips tentang bagaimana mengembangkan sensitivitas budaya verbal dan praktek-praktek komunikasi tertulis dalam sebuah organisasi sangat berlimpah, tapi dalam banyak kasus, relatif sedikit perhatian diberikan kepada perbedaan budaya dalam mendengarkan. Itulah sisi lain dari komunikasi. “Kode etik yang menentukan bagaimana harus dibuktikan mendengarkan didasarkan pada asumsi-asumsi budaya tertentu tentang apa yang dianggap sebagai mendengarkan,” kata Milburn. Tapi sementara norma-norma yang berlaku komunikasi dalam bisnis Amerika mungkin panggilan untuk para pendengar untuk diam dan menawarkan bahasa tubuh (kontak mata yang mantap, misalnya) dimaksudkan untuk memastikan bahwa si pembicara atau kata-katanya sedang diperhatikan, banyak kebudayaan memiliki standar yang berbeda dapat menyerang belum tahu sebagai kasar atau membingungkan. “Seseorang yang berkomunikasi dengan bersandar ke depan dan semakin dekat mungkin sangat mengancam pada seseorang yang menghargai ruang pribadi,” menunjukkan Oregon Business’s Megan Monson. “Dan orang itu bisa dianggap sebagai bermusuhan dan tidak ramah, hanya karena kurangnya kontak mata.” Kuncinya, mengatakan analis, adalah untuk memastikan bahwa organisasi Anda mengakui bahwa perbedaan budaya berlimpah dalam mendengarkan serta berbicara praktik, dan untuk membangun komunikasi antar praktek yang sesuai.
Diversity in Organization
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan dari berbagai bentuk, ukuran, dan dalam berbagai bidang usaha telah memeluk program yang dirancang untuk merayakan keragaman dan mendorong komunikasi antara individu dan kelompok-kelompok dari latar belakang budaya yang berbeda. Tetapi menurut Milburn, “keragaman adalah salah satu konsep yang sangat konteks terikat. Ia tidak memiliki makna tunggal bagi semua orang. Perusahaan yang mencoba untuk melembagakan program-program tanpa memahami keragaman budaya yang asumsi-asumsi atas program-program ini didasarkan dapat menemukannya sulit untuk menetapkan kebijakan keragaman bermakna. Banyak perusahaan percaya bahwa melalui berbagi, mereka dapat mempromosikan nilai-nilai budaya yang berbeda-beda. Namun, bagaimana perusahaan mendefinisikan ‘berbagi’ mungkin sebenarnya menghalangi keragaman inisiatif sementara beberapa kebudayaan memiliki aturan khusus tentang berbagi. Peraturan-peraturan ini diundangkan dalam komunikasi sehari-hari praktek.
Kebanyakan pemilik bisnis mengakui bahwa perusahaan mereka jauh lebih mungkin berhasil jika mereka mampu membangun sistem yang efektif antar komunikasi antara karyawan yang berbeda agama, sosial, dan latar belakang etnis. Tetapi perbedaan-perbedaan yang mendalam dalam gaya komunikasi juga dapat ditemukan dalam area fungsional perusahaan juga, dan ini juga perlu dibahas untuk memastikan bahwa organisasi mampu beroperasi pada tingkat tertinggi efisiensi. Sebagai contoh, karyawan yang terlibat dalam bidang teknik (komputer, teknik mesin, dll) sering memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang sangat berbeda dari para pekerja yang terlibat dalam “kreatif” wilayah perusahaan (pemasaran, public relations, dll). Perbedaan-perbedaan ini sering menampakkan diri dalam modus komunikasi yang menguntungkan pihak-pihak yang bersangkutan. “Engineers cenderung introver dan analitis dengan sangat logis cara memecahkan masalah,” kata salah seorang veteran industri perangkat lunak dalam sebuah wawancara dengan Monson. “Mereka dalam pemasaran cenderung ekstrover dan intuitif. Ini adalah sumber abadi mungkin pertentangan, dan benar-benar, itu hanya masalah gaya.”
Para konsultan dan peneliti setuju, meskipun, bahwa banyak perbedaan antara budaya fungsional yang berbeda ini dapat diatasi melalui kebijakan yang proaktif mengenali perbedaan-perbedaan semacam itu ada dan bekerja untuk mendidik semua orang tentang legitimasi dari setiap kebudayaan. “Hari ini pasar yang dinamis menuntut bahwa perusahaan-perusahaan teknologi tinggi dapat bergerak cepat, yang pada gilirannya akurat kebutuhan komunikasi, baik dengan pelanggan dan di antara karyawan. Miskin komunikasi dapat berarti kehilangan semangat kerja, produksi terjun, dan bahkan mungkin gagal start up, “kata Monson.
CONTOH KASUS
HSBC adalah salah satu bank terbesar di dunia yang berpusat di London. Jaringan internasional HSBC menyebar hingga mencapai 8500 kantor cabang di 86 negara dan teritorial di Eropa, Asia-Pasifik, Amerika, Timur Tengah, dan Afrika. Pegawai yang dipekerjakan mencapai 335.000 orang dari berbagai latar belakang di seluruh dunia dan terdapat lebih dari 100 juta customer base.
Memiliki ribuan kantor cabang di berbagai belahan dunia mau tidak mau membuat organisasi HSBC menghargai keberagaman budaya. “Diversity is central to our brand,” demikian kutipan pernyataan yang terdapat di situs resmi HSBC. HSBC juga menyesuaikan penghargaannya terhadap budaya dengan tagline yang dimilikinya yaitu “world’s local bank” yang selalu diselipkan di setiap iklan-iklannya di seluruh dunia.
HSBC mengklaim sebagai organisasi global yang mengerti populasi lokal dan menghargai kebudayaan dimana mereka berada. Bagaimanapun, mereka butuh memahami customernya jika ingin memperoleh profit yang maksimal. Karena itu, pemahaman terhadap budaya merupakan salah satu jalan untuk meraih hal tersebut.
Beberapa hal yang diterapkan HSBC untuk menghargai multikulturalitas dalam organisasinya:
– Pemahaman terhadap pentingnya kontribusi tiap individu untuk kesuksesan organisasi
– Memaksimalkan potensi mereka dan memberi mereka inspirasi
– Menciptakan kerangka nilai dan perilaku sebagai panduan
– Menciptakan prinsip dasar yang mendefinisikan organisasinya
Untuk menggambarkan multikulturalitas ini, dalam setiap iklan-iklannya, HSBC menggunakan tema diversity. Dalam satu iklan biasanya digambarkan kemajemukan budaya atau mobilitas yang tinggi yang menggambarkan bahwa HSBC peduli dengan budaya local, meskipun tarafnya sudah internasional. Dengan demikian, pesan yang ingin disampaikan akan mengena pada audiesnya dan audiens tidak ragu lagi untuk memilih HSBC bank.
DAFTAR PUSTAKA
Beeth, Gunnar. “Multicultural Managers Wanted.” Management Review. May 1997.
Cox, Taylor, Jr. Cultural Diversity in Organizations. Berrett-Koehler Publishers, 1993.
Faird, Elashmawia, and Philip Harris. Multicultural Management. Gulf Publishing Company, 1993.
Fernandez, John P. Managing a Diverse Work Force: Regaining the Competitive Edge. Lexington Books, 1991.
Gancel, Charles, and Chilina Hills. “Managing the Pitfalls and Challenges of Intercultural Communication.” Communication World. December 1997.
Gardenswartz, Lee, and Anita Rowe. “Cross-Cultural Awareness.” HRMagazine. March 2001.
Jandt, Fred E. Intercultural Communications. Sage Publications, Inc., 2003.
Lieberman, Simma, Kate Berardo, Simons George, Berardo Kate, and George F. Simons. Putting Diversity to Work. Thomson Crisp Learning, 2003.
Milburn, Trudy. “Bridging Cultural Gaps.” Management Review. January 1997.
Monson, Megan. “Talking to Techweenies.” Oregon Business. February 1997.
Murphy, Herta A., and Herbert W. Hildebrandt. Effective Business Communications. McGraw-Hill, 1991.
http://himpsi.org/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=79 (diakses pada Minggu, 13 Desember 2009)
http://www.immi.se/intercultural/ (diakses pada Minggu, 13 Desember 2009)
http://www.hsbc.com/1/2/careers/diversity (diakses pada Senin, 14 Desember 2009)
http://www.kwintessential.co.uk/cultural-services/cross-cultural-communication.html (diakses pada Minggu, 13 Desember 2009)
http://www.puspek.averroes.or.id/2008/09/24/multikulturalisme-dan-problem-kebudayaan-di-era-global/ (diakses pada Minggu, 13 Desember 2009)
http://whandi.net/ (diakses pada Minggu, 13 Desember 2009)
http://www.umm.ac.id/page.php? (diakses pada Minggu, 13 Desember 2009)